Penelitian yang dipimpin oleh Elfahmi dari Institut Teknologi Bandung melakukan survei tanaman yang paling sering digunakan dalam pengobatan herbal yang juga telah diteliti mengenai konstituen dan efek farmakologisnya. Pemerintah Indonesia membagi tumbuhan obat menjadi tiga kategori, yaitu jamu, jamu terstandar dan fitofarmaka (fitomedis). Karena aktivitas biologis yang dianggap berasal dari jamu sebagian besar didasarkan pada data empiris, diperlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan keampuhan secara ilmiah dan untuk menjamin keamanan. Dalam perkembangan jamu lebih lanjut, persoalan etika seperti hak kekayaan intelektual, pembagian keuntungan, keanekaragaman hayati dan konservasi perlu diperhatikan. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji status jamu saat ini dan memberikan pandangan yang komprehensif yang dapat digunakan dalam perkembangannya di masa mendatang untuk peningkatan lebih lanjut kegunaannya dalam menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan.
Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau, Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati. Luas hutan tropis Indonesia sekitar 143 juta hektar dan merupakan rumah bagi sekitar 80% tumbuhan obat dunia. Diperkirakan hutan tropis Indonesia memiliki 28.000 jenis tumbuhan. Terdapat berbagai laporan mengenai inventarisasi tumbuhan tingkat tinggi di Indonesia. Studi Negara Indonesia tentang Keanekaragaman Hayati (ICSBD 1993) memperkirakan jumlah spesies tumbuhan berbunga di Indonesia antara 25.000 dan 30.000. Sekitar 40 juta orang Indonesia secara historis telah menggunakan obat herbal untuk perlindungan dan pengobatan penyakit dan masyarakat Indonesia menggunakan sekitar 6.000 spesies tumbuhan. Data jumlah tumbuhan obat juga beragam. PT Eisei (1995) menerbitkan Kamus Jamu Jamu Indonesia yang berisi lebih dari 2500 jenis tumbuhan yang pada prinsipnya dapat dikembangkan untuk tujuan pengobatan, sedangkan Zuhud et al. (2001) mengidentifikasi 1.845 spesies dengan potensi obat di hutan Indonesia. Angka-angka ini berpotensi untuk diperbarui karena inventarisasi dan penyelidikan berkelanjutan dari spesies yang belum teridentifikasi. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), 283 spesies tumbuhan telah terdaftar secara resmi untuk digunakan sebagai obat; sisa yang lebih besar digunakan secara tradisional.
Jamu akan tetap menjadi alternatif yang banyak digunakan masyarakat Indonesia untuk menjaga kesehatan. Studi in vitro, in vivo dan klinis pada tanaman obat yang digunakan pada jamu sebagian telah membuktikan secara ilmiah terkait aktivitas biologisnya. Spesies yang termasuk dalam famili Zingiberaceae seperti Temulawak, Zingiber, Kaempferia, merupakan tumbuhan yang paling sering digunakan dalam jamu. Spesies ini juga telah dipelajari secara intensif metabolit sekunder serta aktivitas biologisnya. Kurkumin dan panduratin adalah contoh metabolit sekunder khas bioaktif dari spesies tumbuhan ini. Karena anggota Zingiberaceae umumnya dianggap aman untuk dikonsumsi manusia, spesies ini merupakan kandidat yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai produk jamu standar baru. BPOM telah melakukan penelitian sistematis dan komprehensif terhadap sembilan tumbuhan prioritas yang digunakan dalam jamu di Indonesia, yaitu jahe (Z. officinale) dan raja pahit (A. paniculata) sebagai antineoplasmatik; kunyit (C. domestica), kunyit jawa (C. xanthorrhiza) dan pohon cedar G. ulmifolia sebagai antihiperlipidemcs; Mengkudu Jawa (M. citrifolia), daun salam (Syzygium polyanthum) sebagai antidiabetik; jambu biji Psidium guajava sebagai anti virus; dan cabe jawa Piper retrofractum sebagai androgenik. Tanaman obat lain yang telah diluncurkan sebagai produk jamu seperti P. niruri sebagai imunostimulan, C. xanthorrhiza sebagai antirematik, P. guajava dan C. domestica sebagai antidiarrhea. Berdasarkan penelusuran literatur, dapat disimpulkan bahwa masih banyak lagi tanaman obat yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk jamu maupun sebagai sumber agen terapeutik baru. Meskipun tumbuhan yang umum digunakan dalam jamu telah diteliti secara ilmiah untuk aktivitas biologinya, namun para pembuat jamu atau industri tetap harus melakukan standarisasi formula jamu untuk menjamin khasiat dan keamanannya. Dalam waktu dekat, mengembangkan jamu tradisional menjadi ekstrak standar dan fitofarmaka menjadi tantangan. Hal ini membutuhkan investasi dari pemerintah Indonesia, industri farmasi dan akademisi serta pendekatan multidisiplin. Hasilnya, produk yang secara kualitatif lebih baik, lebih aman dan lebih efektif harus tersedia di pasar dan berkontribusi pada kualitas kesehatan di Indonesia. Selain itu, penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk membuktikan penggunaan tradisional jamu secara ilmiah. Karena keanekaragaman hayati tanaman obat asli Indonesia yang sangat luas, jamu memiliki potensi untuk pembangunan ekonomi. Eksplorasi tanaman obat yang dikenal masyarakat Indonesia juga harus mencakup masalah etika, seperti khasiat, keamanan, HAKI, pembagian manfaat dan konservasi keanekaragaman hayati.
Baca Selengkapnya di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar